Jumat, 27 Desember 2013

Respon Imunitas



ANAFILAKSIS
A.     Pengertian
Anaphylaxis berasal dari bahasa yunani, Ana = jauh dari ; phylaxis = perlindungan, anaphylaxis berarti menghilangkan perlindungan. Menurut Dorland (kamus kedokteran) anafilaksis adalah rekasi alergi umum dengan efek pada bebeapa sistem organ terutama kardiovaskuler, respirasi, dan gastrointestinal, yang merupakan rekasi imunologis yang didahului dengan terpaparnya elergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Menurut Iris R, Heru S, dkk (2009), rekasi anafilaksis merupakan suatu gejala yang timbul segera setalah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetus lainnya, gejala ini timbul melalui rekasi allergen dan antibody dalam tubuh. Ada juga yang berpendapat bahwa reaksi anafilaksis adalah suatu syndrome yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan broncus yang mendadak. Reksi ini dicetuskan oleh beberapa mediator kimiawi endogen seperti histamine, serotonin atau lainnya yang segera terbentuk (anonimus, 2009).
B.     Penyebab
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing.Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-obatan.Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua.Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi (misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit (pengobatan topikal).Olahraga atau suhu (panas atau dingin) dapat juga memicu anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal sebagai sel mast) melepaskan senyawa kimia yang memulai reaksi alergi.Anafilaksis karena berolahraga biasanya juga berkaitan dengan asupan makanan tertentu.Bila anafilaksis timbul saat seseorang sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks.Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (anafilaksis idiopatik).
Banyak makanan dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut dikonsumsi untuk pertama kali.Pada kultur Barat, penyebab tersering adalah memakan atau berkontak dengan kacang-kacangan, gandum, kacang-kacangan dari pohon, kerang, ikan, susu, dan telur.Di Timur Tengah, wijen merupakan makanan pencetus yang sering. Di Asia, nasi dan kacang Arab sering menyebabkan anafilaksis.Kasus yang berat biasanya disebabkan karena mengonsumsi makanan tersebut,tetapi beberapa orang mengalami reaksi yang hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh. Dengan bertambahnya usia, alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan anafilaksis terhadap susu atau telur dan 20% dengan kasus tunggal anafilaksis terhadap kacang dapat mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Yang paling umum adalah antibiotik β-lactam (seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan OAINS (Obat Antiinflamasi Non Steroid/NSAID).Bila seseorang alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya ia masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis.Penyebab lain anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, vaksin, protamin (terdapat pada sperma), dan obat-obatan herbal.Sejumlah obat termasuk vankomisin, morfin, dan obat yang digunakan untuk memperjelas foto sinar–x (agen radiokontras), menyebabkan anafilaksis karena merusak sel tertentu pada jaringan, yang merangsang terjadinya pelepasan histamin (degranulasi sel mast).
Frekuensi reaksi terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan sebagian lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh.Anafilaksis terhadap penisilin atau sefalosporin hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam tubuh, dan beberapa berikatan lebih mudah dibandingkan dengan yang lainnya.Anafilaksis terhadap penisilin muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat pengobatan. Kematian terjadi pada kurang dari satu dalam setiap 50.000 orang yang mendapat pengobatan.Anafilaksis terhadap aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih satu di antara 50.000 orang.Bila seseorang mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi reaksi ini masih lebih kecil dari 1 dalam 1.000.Obat yang dahulu digunakan untuk memperjelas foto sinar-x (agen radiokontras) menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh kasus. Obat yang lebih baru dengan agen radiokontras berosmolaritas rendah menimbulkan reaksi pada 0,04% kasus.
Bisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti lebah dan tawon (Hymenoptera) atau serangga penghisap darah (Triatominae) dapat menyebabkan anafilaksis.Bila seseorang mengalami reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke sekitar tempat sengatan, mereka mempunyai risiko anafilaksis lebih besar di masa yang akan datang.Namun demikian, sebagian dari penderita yang meninggal karena anafilakasis tidak menunjukkan adanya reaksi yang luas (sistemik) sebelumnya.
C.     Pemeriksaan yang Dibutuhkan pada Kondisi Syok Anafilaksis
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG dan foto paru.
1.      Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
2.      X photo     : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
3.      EKG          : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia meningkat, sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat dagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
1.      Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :
a)      Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
b)      Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
2.       Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :
a)      Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
b)      2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
3.       RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
4.      Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5.         Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit. Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
D.    Penatalaksanaan pada Pasien dengan Rekasi Anafilaksis
Tanpa memandang beratnya gejala anfilaksis, jika pasien sudah didagnosis sebagai reaksi anafilaksis maka harus segera diberikan epinefrin tanpa ditunda lagi. Hal ini dilakukan karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anfilaksis yang berhubungan dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah 0,1 ml/KgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml/KgBB secara subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit samapi 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler (IM) danbahkan terkadang disis epinefrin dapat dinaikkan samapi 0,5 ml sepanajng pasien tidak memiliki kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah allergen seperti suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, maka segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1:1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi elergen tadi. Bila mungkin dipasang torniquetproksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Tourniquet tersenut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terai pada pasien anafilaksis adalah mengusahakan sistem pernafasan yang lancer dan sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernafasn dan kardivaskuler, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran nafas atau syok anafilaksis.
Sistem organ yang harus diperhatian antara lain:
a.       Sistem Pernafasan
1)      Memelihara saluran nafas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anfilaksis adalah tersumbatnya saluran nafas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang diperlukan tindakan trakeatomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obtruksi. Karena saluran endotracheal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran nafas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena tracheostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan pinksi membrane krikotiroid dengan jarum besar. kemudian pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit.
2)      Pemberian oksigen 4-61 menit sangat penting baik pada gangguan pernafasan maupun kardiovaskuler.
3)      Bronchodilator diperlukan bila terjadi obtruksi saluran nafas bagian bagian bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau aginis beta-2 lainnya 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui debulisasi atau aminofilin 5-6 mg/KgBB yang diencerkan dalam 20 cc dektrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b.      Sistem Kardivaskuler
1)      Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pembeian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskuler. Pasien membutuhkan cairan  intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisany dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak hanya mengganti cairan intravaskuler yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskuler untuk kembali ke intravaskuler.
2)      Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskuler dan pemberian Natrium Bikarbonat bila terjadi asidosis metabolic.
3)      Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kenutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4)      Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan cairan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan  cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dektrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit, bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat American Hearth Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotracheal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui saluran endotracheal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:1000). Tindakan ini kemudian diikuti pernafasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi abat yang cepat.
Selain usaha-usaha di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a)      Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulant reseptor adrenergic alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi abonis beta-2 atau sulfus atropine akan memberikan manfaat di samping pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara intravena.
b)      Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dengan AH2 bekerja secara sinergi terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat dapat diberikan secara oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidine (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin, pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidine.
c)      Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan nafas maupun gangguan kardiovaskuler. Memang kortikodteroid tidak bermanfaat untuk rekasi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar, bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih baik memberikan secara intravena dengan dosis 5 mg/KgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam.
E.     Cara Pencegahan Terhadap Reaksi Anafilaksis
Pasien yang pernah mengalami rekasi anafilaksis mempunyai resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberikan penanda pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan lebah atau anafilaksis idiopatik. Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anaflaksis bisa jauh lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak memperoleh obat-obatan yang berfungsi menyekat beta, karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya akan lebih sulit. Sebaiknya obat-obatan substitusi pengganti obat penyekat beta tersebut.
Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan untuk menghindari reaksi anafilaksis. Greenberger dkk (1984) memberikan prednisone dan antihistamin sebelum memberikan media kontras pemeriksaan radiologic kepada pasien yang mempunyai resiko. Tindakan desensitasi jangka pendek dengan penisilin. Desensitasi jangka panjang diberikan kepada pasien yang alergi terhadap sengatan lebah. Oleh karena reaksi anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan barangkali petunjuk di bawah ini mungkin dapat mencegah terjadinya anafilaksis baik di tempat praktek atau dimana saja.
Sebelum memberikan obat harus mempertimbangkan
a)      Adakah indikasi memberikan obat
b)      Adakah riwayat alergi sebelumnya
c)      Apakah pasien memiliki resiko alergi obat
d)      Apakah obat tersebut perlu diuji di kulit dulu
e)      Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi resiko alergi
Sewaktu minum obat harus mempertimbangkan cara di bawah ini
a)    Jika mungkin, berikan obat secara oral
b)   Hindari pemaikaian intermiten
c)    Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu diobservasi
d)   Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang akan terjadi
e)    Sediakan obat untuk mengatasi keadaan darurat
f)     Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitasi
F.      Sesudah minum obat harus mempertimbangkan
a)      Kenali tanda dini rekasi alergi obat
b)      Hentikan obat bila terjadi reaksi
c)      Tindakan imunisasi sangat dianjurkan
d)      Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan berhati-hati atau pencegahan daripada menghadapi reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya, pasien yang meniggal karena anafilaksis sering dilaporkan. Sama akan halnya dengan obat-obatan sebagai penyebab anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji di kulit. Hanya penisilin, berbagai macam hormone, serum, dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan memberikan obat, kadang-kadang membantu diagnosis. Tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan reaksi anafilaksis.

RESPON REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
A.     Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
B.     Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
1.      Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal)
2.      Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
3.      Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
C.     Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
D.    Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuat respon kekebalan melawan sel dan jaringan miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan dari kelainan respon kekebalan ini dinamakan penyakit autoimun. Kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep horror autotoxicus, di mana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem kekebalannya sendiri. Semua respon autoimun dulunya dipercaya sebagai hal yang abnormal dan dikaitkan dengan suatu kelainan. Namun saat ini diketahui bahwa respon autoimun adalah bagian terpisah dari sistem kekebalan vertebrata, umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh toleransi imunologikal terhadap antigen milik sendiri. Autoimunitas berbeda dengan aloimunitas.
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi tubuh dari zat berbahaya dari virus, bakteri, racun, dan lainnya. Tapi bila sistem imun mengalami gangguan, justru akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat.
Normalnya, pasukan sistem kekebalan tubuh sel darah putih membantu melindungi tubuh terhadap zat berbahaya, yang disebut antigen. Contoh antigen termasuk bakteri, virus, racun, sel-sel kanker dan darah atau jaringan dari orang atau spesies lain. Sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen. tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas. Sistem kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang menghancurkan zat-zat berbahaya. Tapi pada pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal. Ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi.
Pada alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat eksternal yang biasanya akan diabaikan. Tapi pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap jaringan tubuh normal. Yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak bisa membedakan antara jaringan normal dan antigen tidak diketahui.
Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untik autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons autoimun, disebut sel limfosit reaktif (SLR). Pada orang normal , meskipun SLR berpasangan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respon autoimun, karena ada system yang mengontrol reaksi autoimun.
Kadang-kadang tidak jelas apakah autoantibody tersebut merupakan penyebab atau timbul sekunder akibat suatu penyakit. Oleh karena itu harus dibedakan antara fenomena autoimun dengan penyakit autoimu. Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis disebut fenomena autoimun.
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa tubuh menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang autoreaktif selama perkembangan embriologiknya akan musnah.
A.     Teori Autoimunitas
1.    Teori sequestered antigen atau hidden antigen
Sequestered aatau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomic tek pernah berhubungan dengna system imu n misalnya antigen sperma, lensa mata, dan saraf pusat. Bila sawar tersebut rusak, dapat timbul penyakit autoimmun.
2.    Teori defesiensi immune
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan system limfoid. Penyakit autoimmune sering ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun, misalnya pada lanjut usia.
3.    Determinan antigen baru
Pembentukan autoantibody dapat dicetuskan oleh karena timbul deterrminan antigen baru pada protein normal. Contoh autoantibody yang timbul akibat hal tersebut ialah factor rematoid (FR). FR dibentuk terhadap determinan antigen yang terdapat pada immunoglobulin.
4.    Reaksi silang dengan mikroorganisme
Kerusakan jantung pada demam reumatik anak diduga terjadi kaibat produksi antigen terhadap streptokok A yang bereaksi silang dengan miokard penderita.
5.    Virus sebagai pencetus autoimunitas
Virus yang terutama mengginfeksi system limfoid dapat tmempengaruhi mekanisme kontrol imunologik sehingga terjadi autoimunitas.
6.    Autoantibodi dibentuk sekunder akibat kerusakan jaringan
Autoantibodi terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar autoantibody disini terlalu rendah untuk dapat menimbulkan penyakit autoimmun. Autoantibody dapat dibentuk pula terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung. Pada tuberculosis dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jaringan dalam kadar gula yang rendah.
Satu teori menyebutkan bahwa beberapa mikro-organisme (termasuk bakteri) dan obat-obatan dapat memicu beberapa perubahan, terutama pada orang yang memiliki gen yang membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan autoimun. Seperti dilansir dari NLM, gangguan autoimun dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Perusakan satu atau lebih jenis jaringan tubuh
  2. Pertumbuhan organ abnormal
  3. Perubahan fungsi organ
Gangguan autoimun dapat mempengaruhi satu atau lebih organ atau jaringan. Organ dan jaringan yang umumnya terkena oleh gangguan autoimun adalah sel darah merah, pembuluh darah, jaringan ikat, kelenjar endokrin seperti tiroid atau pankreas, otot, sendi, dan kulit. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu gangguan autoimun pada saat yang sama. Ada lebih 80 jenis penyakit akibat gangguan autoimun.
B.     Pembagian Penyakit Autoimun
1.    Penyakit Autoimun Organ Spesifik
Contoh alat tubuh yang menjadi asaran penyakitautoimun adalah: kelenjar tiroid, kelenjar adrenal,  lambung, dan pancreas.
2.    Penyakit Autoimun Non Organ Spesifik
Penyakit autoimun yang non organ spesifik terjadikarena dibentuknya antibody terhadapautoantigen yang tersebar luas didalam tubuh,misalnya DNA. Sering dibentuk kompleks imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluhdarah, kulit, sendi, dan ginjal, sertamenimbulkan kerusakan pada alat tersebut.Berikut beberapa contoh penyakit karena serangan sistem imun tubuh sendiri:
1.      Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid)
2.      Pernicious anemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan)
3.      Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi cukup hormon)
4.      Diabetes tipe I
5.      Rheumatoid arthritis (radang sendi)
6.      Systemic lupus erythematosus (SLE atau gangguan autoimun kronis, yang mempengaruhi kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya)
7.      Dermatomyositis (penyakit otot yang dicirikan dengan radang dan ruam kulit)
8.      Sjorgen sindrom (kelainan autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata
9.      Multiple sclerosis (gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat tulang belakang)
10.  Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf)
11.  Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata)
12.  Penyakit Grave (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif)
Kriteria Autoimun :
1.      Penyakit timbul akibat adanya respons autoimun
2.      Ditemukan antibody
3.      Penyakit dapat ditimbulkan oleh bahan yang diduga merupakan antigenPenyakit dapat dipindahkan darisatu binatang ke binatang lain melalui serum atau sel limfosityang hidup
4.      Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakit
5.      Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringan dengan cedera
6.      Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktifitas penyakit
7.      Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit
8.      Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien
9.      Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan penyakit
C.     Gejala Klinis
Terdapat berbagai gejala klinis pada kulit akibat penyakit autoimun, diantaranya penyakit kulit, termasuk rasa gatal dan menggaruk yang menetap, lesi, luka, lepuh, dan kerusakan kulit lainnya serta kehilangan pigmen kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi merah, dan luka pada hidung. Palatum-nasale yang seharusnya kasar menjadi halus, selain itu dapat terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah.
Lesi Pemphigus vulgaris biasanya sangat jelas ditemukan pada rongga mulut. Kadangkala gejala ditandai dengan limpadenopati, tidak mau makan, kelemahan, demam dan sepsis. Pemphigus foliaceus biasanya menyerang telinga dan wajah. Gejala awal ditandai dengan depigmentasi pada palatum nasale, celah pada dorsal mulut, periokular dan telinga, gatal, rasa sakit dan kelemahan tubuh dapat ditemukan pada kasus-kasus tertentu.
D.    Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.


















DAFTAR PUSTAKA
NCBI. Immunobiology. Allergy and Hypersensitivity.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A1719
Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease. Pg 193-208. SAUNDERS: China
Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI. Jakarta
Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:Jakarta
Syarif Amir dr. SKM , SpFK, dkk, 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5 : Jakarta : Gaya Baru, hal. 66, 817

Tidak ada komentar: