ANAFILAKSIS
A.
Pengertian
Anaphylaxis berasal dari bahasa yunani, Ana = jauh dari ; phylaxis =
perlindungan, anaphylaxis berarti menghilangkan perlindungan. Menurut Dorland
(kamus kedokteran) anafilaksis adalah rekasi alergi umum dengan efek pada
bebeapa sistem organ terutama kardiovaskuler, respirasi, dan gastrointestinal,
yang merupakan rekasi imunologis yang didahului dengan terpaparnya elergen yang
sebelumnya sudah tersensitisasi.
Menurut Iris R, Heru S, dkk (2009), rekasi anafilaksis merupakan suatu
gejala yang timbul segera setalah pasien terpajan oleh allergen atau faktor
pencetus lainnya, gejala ini timbul melalui rekasi allergen dan antibody dalam
tubuh. Ada juga yang berpendapat bahwa reaksi anafilaksis adalah suatu syndrome
yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
penyempitan broncus yang mendadak. Reksi ini dicetuskan oleh beberapa mediator
kimiawi endogen seperti histamine, serotonin atau lainnya yang segera terbentuk
(anonimus, 2009).
B.
Penyebab
Anafilaksis
dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing.Pemicu
yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan
obat-obatan.Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda.
Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering
ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua.Penyebab yang lebih jarang di
antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi (misalnya air mani), lateks,
perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya monosodium glutamat dan
pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit (pengobatan
topikal).Olahraga atau suhu (panas atau dingin) dapat juga memicu anafilaksis
dengan membuat sel tertentu (yang dikenal sebagai sel mast) melepaskan senyawa
kimia yang memulai reaksi alergi.Anafilaksis karena berolahraga biasanya juga
berkaitan dengan asupan makanan tertentu.Bila anafilaksis timbul saat seseorang
sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah obat-obatan tertentu yang
ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat penghambat saraf otot),
antibiotik, dan lateks.Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak diketahui
(anafilaksis idiopatik).
Banyak makanan
dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut dikonsumsi untuk pertama
kali.Pada kultur Barat, penyebab tersering adalah memakan atau berkontak dengan
kacang-kacangan, gandum, kacang-kacangan dari pohon, kerang, ikan, susu, dan
telur.Di Timur Tengah, wijen merupakan makanan pencetus yang sering. Di Asia,
nasi dan kacang Arab sering menyebabkan anafilaksis.Kasus yang berat biasanya
disebabkan karena mengonsumsi makanan tersebut,tetapi beberapa orang mengalami
reaksi yang hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh. Dengan
bertambahnya usia, alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80%
anak dengan anafilaksis terhadap susu atau telur dan 20% dengan kasus tunggal
anafilaksis terhadap kacang dapat mengonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.
Setiap obat
dapat menyebabkan anafilaksis. Yang paling umum adalah antibiotik β-lactam
(seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan OAINS (Obat Antiinflamasi Non
Steroid/NSAID).Bila seseorang alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya
ia masih dapat menggunakan jenis lainnya tanpa memicu anafilaksis.Penyebab lain
anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya adalah kemoterapi, vaksin,
protamin (terdapat pada sperma), dan obat-obatan herbal.Sejumlah obat termasuk
vankomisin, morfin, dan obat yang digunakan untuk memperjelas foto sinar–x
(agen radiokontras), menyebabkan anafilaksis karena merusak sel tertentu pada
jaringan, yang merangsang terjadinya pelepasan histamin (degranulasi sel mast).
Frekuensi
reaksi terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan
dan sebagian lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh.Anafilaksis
terhadap penisilin atau sefalosporin hanya terjadi setelah mereka berikatan
dengan protein di dalam tubuh, dan beberapa berikatan lebih mudah dibandingkan
dengan yang lainnya.Anafilaksis terhadap penisilin muncul pada satu di antara
2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat pengobatan. Kematian terjadi pada
kurang dari satu dalam setiap 50.000 orang yang mendapat pengobatan.Anafilaksis
terhadap aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih satu di antara 50.000
orang.Bila seseorang mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko reaksinya
terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi reaksi ini masih lebih kecil
dari 1 dalam 1.000.Obat yang dahulu digunakan untuk memperjelas foto sinar-x
(agen radiokontras) menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh kasus. Obat yang
lebih baru dengan agen radiokontras berosmolaritas rendah menimbulkan reaksi
pada 0,04% kasus.
Bisa dari
sengatan atau gigitan serangga seperti lebah dan tawon (Hymenoptera) atau
serangga penghisap darah (Triatominae) dapat menyebabkan anafilaksis.Bila
seseorang mengalami reaksi terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke
sekitar tempat sengatan, mereka mempunyai risiko anafilaksis lebih besar di
masa yang akan datang.Namun demikian, sebagian dari penderita yang meninggal
karena anafilakasis tidak menunjukkan adanya reaksi yang luas (sistemik)
sebelumnya.
C. Pemeriksaan yang Dibutuhkan pada Kondisi Syok
Anafilaksis
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, maka dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG dan
foto paru.
1. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel
meningkat hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
2. X photo : hiperinflasi dengan
atau tanpa atelektasis karena mucus plug
3. EKG
: gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia meningkat, sereum
tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat
dagnosa terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
1. Skin Prick Test (Tes
tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes
ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji
ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2
mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera
diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu
akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :
a) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang
mengandung antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis
obatnya.
b) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
2. Patch Tes (Tes
Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :
a) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas
yang berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.
b) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung
steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau
salep.
3. RAST (Radio
Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses
dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini adalah dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.
4. Skin Test (Tes
kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes
di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5.
Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk
alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk
penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan sudah jarang
dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya
serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi makanan sudah
digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan
secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit. Dalam
satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat
lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi
alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
D. Penatalaksanaan pada Pasien dengan Rekasi Anafilaksis
Tanpa memandang beratnya gejala anfilaksis, jika pasien sudah didagnosis
sebagai reaksi anafilaksis maka harus segera diberikan epinefrin tanpa ditunda
lagi. Hal ini dilakukan karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala
anfilaksis yang berhubungan dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal
bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah 0,1 ml/KgBB sampai mencapai
maksimal 0,3 ml/KgBB secara subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20
menit samapi 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari
awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara
intramuskuler (IM) danbahkan terkadang disis epinefrin dapat dinaikkan samapi
0,5 ml sepanajng pasien tidak memiliki kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah allergen seperti suntikan imunoterapi, penisilin,
atau sengatan serangga, maka segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin
1:1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi elergen
tadi. Bila mungkin dipasang torniquetproksimal dari tempat suntikan dan
kendurkan setiap 10 menit. Tourniquet tersenut dapat dilepas bila keadaan sudah
terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam
memberikan terai pada pasien anafilaksis adalah mengusahakan sistem pernafasan
yang lancer dan sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga
perfusi jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem
pernafasn dan kardivaskuler, tidak berarti pada organ lain tidak perlu
diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian
pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran nafas atau syok
anafilaksis.
Sistem organ yang harus diperhatian antara lain:
a. Sistem
Pernafasan
1) Memelihara saluran nafas yang memadai. Penyebab
tersering kematian pada anfilaksis adalah tersumbatnya saluran nafas baik
karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan
epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema
larings kadang-kadang diperlukan tindakan trakeatomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah
beratnya obtruksi. Karena saluran endotracheal akan mengiritasi dinding
larings. Bila saluran nafas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit
untuk bertindak. Karena tracheostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau
yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan pinksi membrane krikotiroid dengan jarum besar. kemudian pasien
segera dirujuk ke Rumah Sakit.
2) Pemberian oksigen 4-61 menit sangat penting baik pada
gangguan pernafasan maupun kardiovaskuler.
3) Bronchodilator diperlukan bila terjadi obtruksi
saluran nafas bagian bagian bawah seperti pada gejala asma atau status
asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau aginis beta-2
lainnya 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui debulisasi atau
aminofilin 5-6 mg/KgBB yang diencerkan dalam 20 cc dektrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardivaskuler
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan
pembeian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravaskuler. Pasien membutuhkan cairan intravena secara cepat baik
dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan
untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisany dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan koloid ini tidak hanya mengganti cairan intravaskuler yang
merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus,
tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskuler untuk kembali ke intravaskuler.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan
sistem kardiovaskuler dan pemberian Natrium Bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolic.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous
pressure). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kenutuhan cairan dan
menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dipakai untuk pemberian obat yang
bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan
pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan cairan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin
1:1000 dalam 250 ml dektrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit, bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada
keadaan anafilaksis yang berat American
Hearth Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotracheal
dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui saluran endotracheal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:1000).
Tindakan ini kemudian diikuti pernafasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi
abat yang cepat.
Selain usaha-usaha di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara
lain:
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan
penyakit yang berhubungan dengan reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin
atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulant reseptor adrenergic alfa tidak
terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi abonis beta-2 atau sulfus atropine
akan memberikan manfaat di samping pemberian aminofilin dan kortikosteroid secara
intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dengan AH2
bekerja secara sinergi terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung
beratnya penyakit, AH dapat dapat diberikan secara oral atau parenteral. Pada
keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidine (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl
0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi
teofilin, pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai
ranitidine.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien
yang mengalami gangguan nafas maupun gangguan kardiovaskuler. Memang
kortikodteroid tidak bermanfaat untuk rekasi anafilaksis akut, tetapi sangat
bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama.
Jika pasien sadar, bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih baik
memberikan secara intravena dengan dosis 5 mg/KgBB hidrokortison atau
ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam.
E. Cara Pencegahan Terhadap Reaksi Anafilaksis
Pasien yang pernah mengalami rekasi anafilaksis mempunyai resiko untuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini
harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberikan penanda pada ikat
pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang pasien diberikan bekal suntikan
adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus
tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan lebah atau
anafilaksis idiopatik. Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan
anaflaksis bisa jauh lebih berat, oleh karena itu setiap pasien asma atau
jantung harus memperoleh pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai resiko
anafilaksis dianjurkan untuk tidak memperoleh obat-obatan yang berfungsi
menyekat beta, karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya akan lebih
sulit. Sebaiknya obat-obatan substitusi pengganti obat penyekat beta tersebut.
Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan untuk menghindari
reaksi anafilaksis. Greenberger dkk (1984) memberikan prednisone dan
antihistamin sebelum memberikan media kontras pemeriksaan radiologic kepada
pasien yang mempunyai resiko. Tindakan desensitasi jangka pendek dengan
penisilin. Desensitasi jangka panjang diberikan kepada pasien yang alergi
terhadap sengatan lebah. Oleh karena reaksi anafilaksis terutama disebabkan
oleh obat-obatan barangkali petunjuk di bawah ini mungkin dapat mencegah
terjadinya anafilaksis baik di tempat praktek atau dimana saja.
Sebelum memberikan obat harus mempertimbangkan
a) Adakah indikasi memberikan obat
b) Adakah riwayat alergi sebelumnya
c) Apakah pasien memiliki resiko alergi obat
d) Apakah obat tersebut perlu diuji di kulit dulu
e) Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi resiko
alergi
Sewaktu minum obat harus mempertimbangkan cara di
bawah ini
a) Jika mungkin, berikan obat secara oral
b) Hindari pemaikaian intermiten
c) Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu
diobservasi
d) Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang akan terjadi
e) Sediakan obat untuk mengatasi keadaan darurat
f) Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitasi
F. Sesudah minum obat harus mempertimbangkan
a) Kenali tanda dini rekasi alergi obat
b) Hentikan obat bila terjadi reaksi
c) Tindakan imunisasi sangat dianjurkan
d) Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada
pasien agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan berhati-hati atau
pencegahan daripada menghadapi reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih
penatalaksanaannya, pasien yang meniggal karena anafilaksis sering dilaporkan.
Sama akan halnya dengan obat-obatan sebagai penyebab anafilaksis, tidak semua
obat dapat diuji di kulit. Hanya penisilin, berbagai macam hormone, serum, dan
enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulit
maupun provokasi dengan memberikan obat, kadang-kadang membantu diagnosis.
Tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan reaksi anafilaksis.
RESPON REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau
sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang
dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas
dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II
hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang
diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif
tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
A. Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat
Atau Anafilataksis)
Hipersensitifitas
tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin
E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil,
dan eosinofil.
Uji diagnostik
yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen
(antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada
bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga
dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma,
dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I
adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin
G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.
B. Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau
sitolitik
Hipersensitivitas
tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada
permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik
pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:
2.
Anemia hemolitik
autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin
yang dapat menempel pada permukaan sel
darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
3.
Sindrom Goodpasture
(IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan
kerusakan ginjal).
C. Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun
Hipersensitivitas
tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks
imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang
kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi
atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun,
kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran,
atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada
membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ,
seperti kulit,
ginjal, paru-paru,
sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis
kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum
sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga
sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang
terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan
antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit
pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan
spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
D.
Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas
tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi
ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu
cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin
dan kemokin, serta akumulasi makrofag
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan
klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri sebagai
bagian dari dirinya, yang membuat respon
kekebalan melawan sel dan jaringan miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan dari kelainan respon kekebalan ini
dinamakan penyakit autoimun. Kesalahan yang menyebabkan
sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya dilindunginya bukanlah
hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep horror autotoxicus, di mana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem
kekebalannya sendiri. Semua respon autoimun dulunya dipercaya sebagai hal yang
abnormal dan dikaitkan dengan suatu kelainan. Namun saat ini diketahui bahwa
respon autoimun adalah bagian terpisah dari sistem kekebalan vertebrata, umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh toleransi
imunologikal terhadap antigen milik sendiri. Autoimunitas berbeda dengan aloimunitas.
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi tubuh dari
zat berbahaya dari virus, bakteri, racun, dan lainnya. Tapi bila sistem imun mengalami
gangguan, justru akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat.
Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan autoimun adalah
suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru
menyerang dan menghancurkan jaringan sehat.
Normalnya, pasukan sistem kekebalan tubuh sel darah
putih membantu melindungi tubuh terhadap zat berbahaya, yang disebut antigen.
Contoh antigen termasuk bakteri, virus, racun, sel-sel kanker dan darah atau
jaringan dari orang atau spesies lain. Sistem imun dapat membedakan antigen
tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap
self antigen. tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul
reaksi autoimunitas. Sistem kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang menghancurkan
zat-zat berbahaya. Tapi pada pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan
tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya
adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal. Ini adalah reaksi
hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi.
Pada alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi
terhadap zat eksternal yang biasanya akan diabaikan. Tapi pada gangguan
autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap jaringan tubuh normal. Yang
menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak bisa membedakan antara jaringan normal
dan antigen tidak diketahui.
Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai
reseptor untik autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons autoimun,
disebut sel limfosit reaktif (SLR). Pada orang normal , meskipun SLR
berpasangan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respon autoimun, karena
ada system yang mengontrol reaksi autoimun.
Kadang-kadang tidak jelas apakah autoantibody
tersebut merupakan penyebab atau timbul sekunder akibat suatu penyakit. Oleh
karena itu harus dibedakan antara fenomena autoimun dengan penyakit autoimu.
Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai
gejala klinis disebut fenomena autoimun.
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang
menyatakan bahwa tubuh menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena
sel-sel yang autoreaktif selama perkembangan embriologiknya akan musnah.
A.
Teori Autoimunitas
1.
Teori sequestered antigen atau hidden antigen
Sequestered aatau hidden antigen adalah antigen
yang karena sawar anatomic tek pernah berhubungan dengna system imu n misalnya
antigen sperma, lensa mata, dan saraf pusat. Bila sawar tersebut rusak, dapat timbul penyakit
autoimmun.
2.
Teori defesiensi immune
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan
system limfoid. Penyakit autoimmune sering ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun,
misalnya pada lanjut usia.
3.
Determinan antigen baru
Pembentukan autoantibody dapat dicetuskan oleh
karena timbul deterrminan antigen baru pada protein normal. Contoh autoantibody yang timbul akibat hal tersebut
ialah factor rematoid (FR). FR dibentuk terhadap determinan antigen yang
terdapat pada immunoglobulin.
4.
Reaksi silang dengan mikroorganisme
Kerusakan jantung pada demam reumatik anak diduga terjadi kaibat produksi
antigen terhadap streptokok A yang bereaksi silang dengan miokard penderita.
5.
Virus sebagai pencetus autoimunitas
Virus yang terutama mengginfeksi system limfoid dapat tmempengaruhi
mekanisme kontrol imunologik sehingga terjadi autoimunitas.
6.
Autoantibodi dibentuk sekunder akibat kerusakan
jaringan
Autoantibodi terhadap jantung ditemukan pada
jantung infark. Pada umumnya kadar autoantibody disini terlalu rendah untuk
dapat menimbulkan penyakit autoimmun. Autoantibody dapat dibentuk pula terhadap
antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung. Pada tuberculosis dan
tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada berbagai jaringan, dapat
pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jaringan dalam kadar gula yang
rendah.
Satu teori menyebutkan bahwa beberapa
mikro-organisme (termasuk bakteri) dan obat-obatan dapat memicu beberapa
perubahan, terutama pada orang yang memiliki gen yang membuat mereka lebih
rentan terhadap gangguan autoimun. Seperti dilansir dari NLM, gangguan autoimun dapat mengakibatkan hal-hal sebagai
berikut:
- Perusakan satu atau lebih jenis jaringan tubuh
- Pertumbuhan organ abnormal
- Perubahan fungsi organ
Gangguan
autoimun dapat mempengaruhi satu atau lebih organ atau jaringan. Organ dan
jaringan yang umumnya terkena oleh gangguan autoimun adalah sel darah merah,
pembuluh darah, jaringan ikat, kelenjar endokrin seperti tiroid atau pankreas,
otot, sendi, dan kulit. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu gangguan
autoimun pada saat yang sama. Ada lebih 80 jenis penyakit akibat gangguan autoimun.
B.
Pembagian Penyakit Autoimun
1.
Penyakit Autoimun Organ Spesifik
Contoh alat tubuh yang menjadi asaran penyakitautoimun adalah: kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung, dan pancreas.
2.
Penyakit Autoimun Non Organ Spesifik
Penyakit autoimun yang non organ spesifik terjadikarena dibentuknya
antibody terhadapautoantigen yang tersebar luas didalam tubuh,misalnya DNA.
Sering dibentuk kompleks imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluhdarah,
kulit, sendi, dan ginjal, sertamenimbulkan kerusakan pada alat tersebut.Berikut beberapa contoh penyakit
karena serangan sistem imun tubuh sendiri:
1. Hashimoto tiroiditis (gangguan
kelenjar tiroid)
2. Pernicious anemia (penurunan
sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat dengan baik menyerap
vitamin B12 dari saluran pencernaan)
3. Penyakit Addison (penyakit
yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi cukup hormon)
4. Diabetes tipe I
5. Rheumatoid arthritis (radang sendi)
6. Systemic lupus erythematosus (SLE atau gangguan
autoimun kronis, yang mempengaruhi kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya)
7. Dermatomyositis (penyakit otot
yang dicirikan dengan radang dan ruam kulit)
8. Sjorgen sindrom (kelainan
autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata
9. Multiple sclerosis (gangguan
autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat tulang belakang)
10. Myasthenia gravis (gangguan
neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf)
11. Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing
dan mata)
12. Penyakit Grave (gangguan autoimun yang mengarah ke
kelenjar tiroid hiperaktif)
Kriteria Autoimun :
1. Penyakit timbul akibat adanya respons autoimun
2. Ditemukan antibody
3. Penyakit dapat ditimbulkan
oleh bahan yang diduga merupakan antigenPenyakit dapat dipindahkan
darisatu binatang ke binatang lain melalui
serum atau sel limfosityang hidup
4. Autoantibodi atau sel T
autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakit
5. Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringan
dengan cedera
6. Ambang autoantibodi atau respon
sel T menggambarkan aktifitas penyakit
7. Penurunan respons autoimun
memberikan perbaikan penyakit
8. Transfer antibodi atau sel T ke
pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien
9. Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi
respons autoimun menimbulkan penyakit
C.
Gejala Klinis
Terdapat berbagai gejala klinis pada kulit akibat penyakit autoimun,
diantaranya penyakit kulit, termasuk rasa gatal dan menggaruk yang menetap, lesi, luka, lepuh, dan
kerusakan kulit lainnya serta kehilangan pigmen kulit. Terdapat dua kasus penyakit autoimun yang
sering ditemukan yaitu Discoid lupus erythematosus (DLE) dan Pemphigus. Discoid lupus erythematosus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
Tahap awal DLE ditandai kehilangan pigmen kulit, kulit menjadi merah, dan luka pada hidung. Palatum-nasale yang seharusnya kasar menjadi halus, selain itu dapat
terjadi erosi, ulserasi, dan luka pada palatum
nasale, nostril, cuping hidung, sekitar mata dan telinga. Bekas-bekas luka dapat ditemukan pada kasus kronis dan parah.
Lesi Pemphigus
vulgaris biasanya sangat jelas ditemukan pada rongga mulut. Kadangkala gejala ditandai dengan
limpadenopati, tidak mau makan, kelemahan, demam dan sepsis. Pemphigus foliaceus biasanya menyerang
telinga dan wajah. Gejala awal ditandai dengan depigmentasi pada palatum
nasale, celah pada dorsal mulut, periokular dan telinga, gatal, rasa sakit dan kelemahan tubuh dapat
ditemukan pada kasus-kasus tertentu.
D.
Pengobatan
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem
kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga
mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti
azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan
methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka
panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga
kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad
penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan
kanker meningkat.
Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral.
Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh.
KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek
samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu
gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid
kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.
Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan
tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid.
Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor
necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat
efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin
berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya,
seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan
kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih
menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada
reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih
(sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu
dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan
sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi
rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat
lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah
dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang
disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak
dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun
kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala.
Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.
DAFTAR PUSTAKA
NCBI. Immunobiology. Allergy
and Hypersensitivity.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A1719
Abdul K Abbas, MBBS. 2004.
Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease. Pg 193-208. SAUNDERS:
China
Arwin dkk, 2008.
Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI.
Jakarta
Baratawidjaja,
K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:Jakarta
Syarif Amir dr. SKM , SpFK,
dkk, 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5 : Jakarta : Gaya Baru, hal.
66, 817
Tidak ada komentar:
Posting Komentar