Minggu, 29 Desember 2013

asuhan keperawatan Epistaksis



A.     Pengertian
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala suatu kelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat.
B.     Anatomi Fisiologi

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung.Piramid hidung terdiri dari :
*      Pangkal hidung (bridge)
*      Dorsum nasi (dorsum=punggung)
*      Puncak hidung
*      Ala nasi (alae=sayap)
Fungsi hidung adalah untuk :
*      Jalan napas
*      Alat pengatur kondisi udara (mengatur suhu dan kelembaban udara)
*      Penyaring udara
*      Sebagai indra penghidu (penciuman)
*      Untuk resonansi udara
*      Membantu proses bicara
*      Refleks nasal
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat.
Epistaksis (mimisan) pada anak-anak umumnya berasal dari little’s area/pleksus kiesselbach yang berada pada dinding depan dari septum hidung.
C.     Etiologi
Penyebab lokal :
1.      Trauma misalnya karna mengorek hidung,terjatuh,terpukul,benda asing di hidung,trauma pembedahan,atau iritasi gas yang merangsang.
2.      Infeksi hidung atau sinus paranasal,seperti rinitis,sinusitis,serta granuloma spesifik seperti lepra dan sifilis.
3.      Tumor,baik jinak maupun ganas pada hidung,sinus paranasal dan nasoparing.
4.      Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak, seperti pada penerbang maupun penyelam(penyakit Caisson), atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.
5.      Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksisringan disertai ingus berbau busuk.
6.      Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulangpada anak dan remaja.
Penyebab sistemik :
1.      Penyakit Kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah
2.      Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukimia.
3.      Infeksi sistemik, Seperti demam berdarah dengue, Influenza, Morbiliatau demam tifoid.
4.      Gangguan endokrin, Seperti pada kehamilan, menars, dan menopous.
5.      Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic telangiectasia)
D.    Pathofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
E.     Klasifikasi
1.      Mimisan Depan

Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan, maka disebut 'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat :
a.       Mengorek-ngorek hidung
b.      Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian atau ruangan berAC
c.       Terlalu lama terpapar sinar matahari
d.      Pilek atau sinusitis
e.       Membuang ingus terlalu kuat
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air dingin.Beberapa langkah untuk mengatasi mimisan depan:
a.       Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke depan.
Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan kematian.
b.      Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit. Usahakan jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
c.       Beri kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin membantu mengerutkan pembuluh darah, sehingga perdarahan berkurang.
d.      Setelah mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek hidung dan menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3 jam.
e.       Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan tampon (kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau tindakan kauterisasi. Selama dalam perjalanan, penderita sebaiknya tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit kedepan.
2.      Mimisan Belakang
Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang hidung.Beberapa penyebab mimisan belakang :
a.      Hipertensi
b.      Demam berdarah
c.       Tumor ganas hidung atau nasofaring
d.      Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
e.       Kekurangan vitamin C dan K.
Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu, penderita harus segera dibawa ke puskesmas atau RS.
Biasanya petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang. Caranya, kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga belakang mulut (faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut.Pada ujung yang keluar melalui mulut ini dipasang kasa dan balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik, maka kasa dan balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang. Dengan demikian diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini gagal, petugas medis mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah lain yang mungkin dipertimbangkan adalah operasi untuk mencari pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan, kemudian mengikatnya. Tindakan ini dinamakan ligasi.
F.      Tanda dan Gejala
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok : 
1.      Epistaksis anterior : perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. 
2.      Epistaksis posterior : perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam, yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Darah mengalir ke belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.
G.    Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul :
1.      Sinusitis
2.      Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3.      Deformitas (kelainan bentuk) hidung
4.      Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
5.      Kerusakan jaringan hidung
6.      Infeksi
H.    Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :
1.      Menghentikan perdarahan
2.      Mencegah komplikasi
3.      Mencegah berulangnya epistaksis
Alat-alat yang digunakan : lampu kepala, spekulum hidung, alat hisap, forseps bayonet, spatel lidah, kateter karet, pelilit kapas (cotton applicator), lampu spiritus, kapas, tampon posterior (tampon Bellocq), vaselin, salep antibiotik, larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi lokal, larutan adrenalin 1/10.000, larutan nitras argenti 20-30 %, larutan triklorasetat 10 %, atau elektrokauter.
1.      Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat.
2.      Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti pemasangan tampon dan kaustik lebih baik daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti.
3.      Pasien diminta duduk tegak (agar tekanan vaskuler berkurang dan mudah membatukkan darah di faring). Bila dalam keadaan lemah atau syok, pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari bekuan darah. Kemudian pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya. Biarkan 3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan di bagian anterior atau posterior.
4.      Pada anak yang sering mengalami epistaksi ringan, perdarahan dihentikan dengan cara menekan kedua cuping hidung ke arah septum selama beberapa menit.
Perdarahan Anterior
Jika terlihat, sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20-30 % (atau asam triklorasetat 10 %) atau elektrokauter. Sebelumnya digunakan analgesik topikal. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung maka diperlukan pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kasa menyerupai pita dengan lebar kira-kira 0,5 cm yang diberi vaselin atau salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat pencabutan. Tampon anterior dimasukkan melalui nares anterior, diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan tempat asal perdarahan. Tampon dipertahankan 1-2 hari.Jika tidak ada penyakit yang mendasarinya, pasien diperbolehkan rawat jalan dan diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari. Pasien lanjut usia harus dirawat.
Perdarahan Posterior
Terjadi bila sebagian besar darah yang keluar masuk ke dalam faring, tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan, dan pada pemeriksaan hidung tampak perdarahan di posterior superior.Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sukar melihat bagian posterior dari kavum nasi. Dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai 3 utas benang, 1 utas di tiap ujung dan 1 utas di tengah. Tampon harus dapat menutup koana (nares posterior). Tampon dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter sekitar 3 cm.
Untuk memasang tampon Bellocq, kateter karet dimasukkan melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya. Benang yang keluar kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk tampon tersebut didorong ke arah nasofaring. Agar tidak bergerak, kedua benang yang keluar dari nares anterior diikat pada sebuah gulungan kasa di depan lubang hidung. Ujung benang yang keluar dari mulut, dilekatkan pada pipi. Benang tersebut berguna bila hendak mengeluarkan tampon. Jika dianggap perlu, dapat pula dipasang tampon anterior.Pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan tampon dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan. Dapat diberikan analgesik atau sedatif yang tidak menyebabkan depresi pernapasan. Bila cara diatas dilakukan dengan baik maka sebagian besar epistaksis dapat ditanggulangi.
Sebagai pengganti tampon posterior, dapat pula dipakai kateter Foley dengan balon.
Selain itu dapat pula dipakai obat-obatan hemostatik seperti vitamik K atau karbazokrom.Pada epistaksis
berat dan berulang yang tak dapat diatasi dengan pemasangan tampon, diperlukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan posterior atau arteri maksila interna. Untuk ini, pasien harus dirujuk ke rumah sakit.Epistaksi akibat fraktur nasi atau septum nasi biasanya berlangsung singkat dan berhenti secara spontan. Kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau beberapa hari kemudian setelah edema berkurang. Sebaiknya pasien dirujuk untuk menjalani perawatan fraktur nasi dan ligasi bila diperlukan.




ASUHAN KEPERAWATAN
A.     Pengkajian
1.      Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2.      Riwayat Penyakit sekarang :
3.      Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4.      Riwayat penyakit dahulu :
*   Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
*   Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
*   Pernah menedrita sakit gigi geraham
5.      Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6.      Riwayat spikososial
*   Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
*   Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7.      Pola fungsi kesehatan
a.       Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
-Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping.
b.      Pola nutrisi dan metabolisme :
-Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c.       Pola istirahat dan tidur
-Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
d.      Pola Persepsi dan konsep diri
-Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun
e.   Pola sensorik
-Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilekterus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8.      Pemeriksaan fisik
-Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
-Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
a.       Mengeluh badan lemas
Data Obyektif
a.       Perdarahan pada hidung/mengucur banyak
b.      Gelisah
c.       Penurunan tekanan darah
d.      Peningkatan denyut nadi
e.       Anemia
A.     Penyimpangan KDM
a.       Trauma Hidung
b.      Masuknya benda asing
c.       (jatuh, terpukul, pembedahan)
d.      Mukosa Hidung Rapuh
e.       Infeksi Nyeri
f.        Perdarahan
g.       Perdarahan Anterior
h.       Perdarahan Posterior
i.         Perdarahan Spontan
j.        Mual, muntah, anemia
k.      Obstruksi Jalan Nafas
l.         Cemas
B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung yang rapuh..
2.      Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan nersihan jalan nafas tidak efektif.
3.      Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
4.      Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan mukosa hidung.
C.     Intervensi Keperawatan
1.      Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung yang rapuh.
Tujuan : meminimalkan perdarahan
Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
INTERVENSI
a.       Monitor keadaan umum pasien
b.      Monitor tanda vital
c.       Monitor jumlah perdarahan psien
d.      Awasi jika terjadi anemia
e.       Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan perdarahan: pemberian transfusi, medikasi.
2.      Bersihan Jalan Nafas tidak efektif
Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif
Kriteria : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis
INTERVENSI
a.       Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
R/ penurunan bunyi nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.
b.      Catat kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif.
R/ Sputum berdarah kental atau cerah dapat diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronchial.
c.       Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi.
R/ posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
d.      Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
R/ mencegah obstruksi/aspirasi.
e.       Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali kontraindikasi. R/ Membantu pengenceran sekret.
f.        Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran, bronkodilator.
R/ mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk menurunkan ketidaknyamanan.
3.      Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya.
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
INTERVENSI
a.       Kaji tingkat kecemasan klien.
R/ menentukan tindakan selanjutnya.
b.      Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien.
R/ Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan
1)      Temani klien.
2)      Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien
c.       Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti.
R/ Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
d.      Singkirkan stimulasi yang berlebihan
R/ dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
1)      Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang.
2)      Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan.
e.       Observasi tanda-tanda vital.
R/ Mengetahui perkembangan klien secara dini.
f.        Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis.
R/ Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.
4.      Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan mukosa hidung.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
- Klien tidak menyeringai kesakitan.
INTERVENSI
a.       Kaji tingkat nyeri klien.
R/ Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya.
b.      Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
R/ Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
c.       Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
R/ Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
d.      Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien.
R/ Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
e.       Kolaborasi dngan tim medis.
R/ Menghilangkan /mengurangi keluhan nyeri klien. Yaitu :
- Terapi konservatif : obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung.





PENUTUP
A.     Kesimpulan
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala suatu kelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
B.     Saran
Sebagaimana kata orang tidak ada gading yang tak retak oleh karenanya makalah ini yang berkenaan dengan  Asuhan Keperawatan Epistaksis belum mendekati sempurna, maka dari itu diperlukan saran yang berarti dan membangun untuk kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya serta penulis pada khususnya.









DAFTAR PUSTAKA
Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta
Doengoes, Marilyn, et al, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing Outcome Classification(NOC). Mosby. Philadelpia
MC. Closky J. dan Bulaceck G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby. Philadelpia.