A. Pengertian
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal
atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan
gejala suatu kelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang
tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan
biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat.
B. Anatomi Fisiologi
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung.Piramid hidung terdiri dari :




Fungsi hidung adalah untuk :







Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan)
dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari
bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga
hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang
tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan
biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat.
Epistaksis
(mimisan) pada anak-anak umumnya berasal dari little’s area/pleksus kiesselbach
yang berada pada dinding depan dari septum hidung.
C. Etiologi
Penyebab lokal :
1. Trauma misalnya karna mengorek
hidung,terjatuh,terpukul,benda asing di hidung,trauma pembedahan,atau iritasi
gas yang merangsang.
2. Infeksi hidung atau sinus paranasal,seperti
rinitis,sinusitis,serta granuloma spesifik seperti lepra dan sifilis.
3. Tumor,baik jinak maupun ganas pada hidung,sinus
paranasal dan nasoparing.
4. Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan
atmosfir mendadak, seperti pada penerbang maupun penyelam(penyakit Caisson),
atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.
5. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan
epistaksisringan disertai ingus berbau busuk.
6. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan
dan berulangpada anak dan remaja.
Penyebab sistemik :
1. Penyakit Kardiovaskular, seperti hipertensi dan
kelainan pembuluh darah
2. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia,
dan leukimia.
3. Infeksi sistemik, Seperti demam berdarah dengue,
Influenza, Morbiliatau demam tifoid.
4. Gangguan endokrin, Seperti pada kehamilan, menars, dan
menopous.
5. Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler
(hereditary hemorrhagic telangiectasia)
D. Pathofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang
arteri maksilaris (maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina
(palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum
terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut
sebagai pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah
akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang
hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan
dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang
tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan
biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
E. Klasifikasi
1.
Mimisan Depan
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan, maka disebut 'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai
dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua
lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke
tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi
sumber pedarahan. Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding
samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat :
a. Mengorek-ngorek hidung
b. Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada
ketinggian atau ruangan berAC
c. Terlalu lama terpapar sinar matahari
d. Pilek atau sinusitis
e. Membuang ingus terlalu kuat
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang
timbul ringan dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun
kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air
dingin.Beberapa langkah untuk mengatasi mimisan depan:
a. Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala
ditundukkan sedikit ke depan.
Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan kematian.
Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan kematian.
b. Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang
hidung dan dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit. Usahakan
jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
c. Beri kompres dingin di daerah
sekitar hidung. Kompres dingin
membantu mengerutkan pembuluh darah, sehingga perdarahan berkurang.
d. Setelah mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek
hidung dan menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3
jam.
e. Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban
sebaiknya dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan tampon
(kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau tindakan kauterisasi. Selama
dalam perjalanan, penderita sebaiknya tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit
kedepan.
2.
Mimisan Belakang
Mimisan belakang (=epistaksis
posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian
belakang. Mimisan belakang
jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan
mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai
anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat
sebab yang mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.Karena
terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan
masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada
beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang
hidung.Beberapa penyebab mimisan belakang :
a.
Hipertensi
b. Demam berdarah
c. Tumor ganas hidung atau nasofaring
d. Penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia
dll.
e. Kekurangan vitamin C dan K.
Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh karena itu,
penderita harus segera dibawa ke puskesmas atau RS.
Biasanya
petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang. Caranya, kateter dimasukkan
lewat lubang hidung tembus rongga belakang mulut (faring), kemudian ditarik
keluar melalui mulut.Pada ujung yang keluar melalui mulut ini dipasang kasa dan
balon. Ujung kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik, maka kasa dan
balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang. Dengan
demikian diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini gagal, petugas medis
mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah lain yang mungkin dipertimbangkan
adalah operasi untuk mencari pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan,
kemudian mengikatnya. Tindakan ini dinamakan ligasi.
F. Tanda dan Gejala
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok :
1.
Epistaksis
anterior : perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan
kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis
anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah
akan keluar dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan
dan mudah diatasi.
2.
Epistaksis
posterior : perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam, yaitu dari
arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior
sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau
penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Darah mengalir ke belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul :
1. Sinusitis
2. Septal hematom (bekuan darah pada
sekat hidung)
3. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
4. Aspirasi (masuknya cairan ke
saluran napas bawah)
5. Kerusakan jaringan hidung
6. Infeksi
H. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :
1.
Menghentikan
perdarahan
2.
Mencegah
komplikasi
3.
Mencegah
berulangnya epistaksis
Alat-alat yang digunakan : lampu kepala, spekulum hidung,
alat hisap, forseps bayonet, spatel lidah, kateter karet, pelilit kapas (cotton
applicator), lampu spiritus, kapas, tampon posterior (tampon Bellocq), vaselin,
salep antibiotik, larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi
lokal, larutan adrenalin 1/10.000, larutan nitras argenti 20-30 %, larutan
triklorasetat 10 %, atau elektrokauter.
1.
Pertama-tama
keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil
mempersiapkan alat.
2.
Menghentikan
perdarahan secara aktif, seperti pemasangan tampon dan kaustik lebih baik
daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil menunggu epistaksis
berhenti.
3.
Pasien
diminta duduk tegak (agar tekanan vaskuler berkurang dan mudah membatukkan darah di faring). Bila dalam keadaan lemah atau syok, pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung. Sumber
perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari bekuan
darah. Kemudian pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan
lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya. Biarkan
3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan
di bagian anterior atau posterior.
4.
Pada
anak yang sering mengalami epistaksi ringan, perdarahan dihentikan dengan cara
menekan kedua cuping hidung ke arah septum selama beberapa menit.
Perdarahan Anterior
Jika terlihat,
sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20-30 % (atau asam triklorasetat 10 %) atau elektrokauter. Sebelumnya digunakan analgesik
topikal. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung maka diperlukan pemasangan tampon anterior, yaitu kapas
atau kasa menyerupai pita dengan lebar kira-kira 0,5 cm yang diberi vaselin
atau salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan
ulang saat pencabutan. Tampon anterior dimasukkan melalui
nares anterior, diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan tempat asal perdarahan. Tampon dipertahankan 1-2 hari.Jika tidak ada penyakit yang
mendasarinya, pasien diperbolehkan rawat jalan dan
diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari.
Pasien lanjut usia harus dirawat.
Perdarahan Posterior
Terjadi bila sebagian besar darah yang keluar masuk ke
dalam faring, tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan, dan pada pemeriksaan hidung tampak
perdarahan di posterior superior.Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena
perdarahan biasanya hebat dan sukar melihat bagian posterior dari kavum nasi. Dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon
Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai 3 utas benang, 1 utas di tiap ujung dan 1
utas di tengah. Tampon harus dapat menutup koana (nares posterior). Tampon
dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter sekitar 3 cm.
Untuk memasang tampon Bellocq, kateter karet dimasukkan
melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar
melalui mulut. Ujung kateter diikat pada salah satu
benang yang ada pada salah satu ujung tampon kemudian kateter ditarik melalui
hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama benang
yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya.
Benang yang keluar kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk tampon
tersebut didorong ke arah nasofaring. Agar tidak bergerak, kedua benang yang
keluar dari nares anterior diikat pada sebuah gulungan kasa di depan lubang
hidung. Ujung benang yang keluar dari mulut, dilekatkan pada pipi. Benang
tersebut berguna bila hendak mengeluarkan tampon. Jika dianggap perlu, dapat
pula dipasang tampon anterior.Pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan
tampon dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan. Dapat diberikan analgesik
atau sedatif yang tidak menyebabkan depresi pernapasan. Bila cara diatas
dilakukan dengan baik maka sebagian besar epistaksis dapat ditanggulangi.
Sebagai pengganti tampon posterior, dapat pula dipakai kateter Foley dengan balon.
Selain itu dapat pula dipakai obat-obatan hemostatik seperti vitamik K atau karbazokrom.Pada epistaksis berat dan berulang yang tak dapat diatasi dengan pemasangan tampon, diperlukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan posterior atau arteri maksila interna. Untuk ini, pasien harus dirujuk ke rumah sakit.Epistaksi akibat fraktur nasi atau septum nasi biasanya berlangsung singkat dan berhenti secara spontan. Kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau beberapa hari kemudian setelah edema berkurang. Sebaiknya pasien dirujuk untuk menjalani perawatan fraktur nasi dan ligasi bila diperlukan.
Selain itu dapat pula dipakai obat-obatan hemostatik seperti vitamik K atau karbazokrom.Pada epistaksis berat dan berulang yang tak dapat diatasi dengan pemasangan tampon, diperlukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan posterior atau arteri maksila interna. Untuk ini, pasien harus dirujuk ke rumah sakit.Epistaksi akibat fraktur nasi atau septum nasi biasanya berlangsung singkat dan berhenti secara spontan. Kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau beberapa hari kemudian setelah edema berkurang. Sebaiknya pasien dirujuk untuk menjalani perawatan fraktur nasi dan ligasi bila diperlukan.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
: Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2. Riwayat
Penyakit sekarang :
3. Keluhan
utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4. Riwayat
penyakit dahulu :



5. Riwayat
keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat
spikososial


7. Pola
fungsi kesehatan
a. Pola
persepsi dan tata laksana hidup sehat
-Untuk mengurangi flu biasanya
klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping.
b. Pola
nutrisi dan metabolisme :
-Biasanya nafsu makan klien
berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c. Pola
istirahat dan tidur
-Selama inditasi klien merasa
tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
d. Pola
Persepsi dan konsep diri
-Klien sering pilek terus
menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun
e. Pola sensorik
-Daya penciuman klien
terganggu karena hidung buntu akibat pilekterus menerus (baik purulen , serous,
mukopurulen).
8. Pemeriksaan
fisik
-Status kesehatan umum :
keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
-Pemeriksaan fisik data focus
hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
a. Mengeluh
badan lemas
Data Obyektif
a. Perdarahan
pada hidung/mengucur banyak
b. Gelisah
c. Penurunan
tekanan darah
d. Peningkatan
denyut nadi
e. Anemia
A. Penyimpangan
KDM
a. Trauma
Hidung
b. Masuknya
benda asing
c. (jatuh,
terpukul, pembedahan)
d. Mukosa
Hidung Rapuh
e. Infeksi
Nyeri
f.
Perdarahan
g. Perdarahan
Anterior
h. Perdarahan
Posterior
i.
Perdarahan Spontan
j.
Mual, muntah, anemia
k. Obstruksi
Jalan Nafas
l.
Cemas
B.
Diagnosa Keperawatan
1. Perdarahan
spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung yang rapuh..
2. Obstruksi
jalan nafas berhubungan dengan nersihan jalan nafas tidak efektif.
3. Cemas
berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
4. Nyeri
akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan mukosa
hidung.
C.
Intervensi
Keperawatan
1. Perdarahan
spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa hidung yang rapuh.
Tujuan : meminimalkan
perdarahan
Kriteria : Tidak terjadi
perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
INTERVENSI
a. Monitor
keadaan umum pasien
b. Monitor
tanda vital
c. Monitor
jumlah perdarahan psien
d. Awasi
jika terjadi anemia
e. Kolaborasi
dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan perdarahan: pemberian
transfusi, medikasi.
2. Bersihan
Jalan Nafas tidak efektif
Tujuan : Bersihan jalan nafas
menjadi efektif
Kriteria : Frekuensi nafas
normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan
tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis
INTERVENSI
a. Kaji
bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
R/ penurunan bunyi nafas dapat
menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.
b. Catat
kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif.
R/ Sputum berdarah kental atau
cerah dapat diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronchial.
c. Berikan
posisi fowler atau semi fowler tinggi.
R/ posisi membantu
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
d. Bersihkan
sekret dari mulut dan trakea.
R/ mencegah
obstruksi/aspirasi.
e. Pertahankan
masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali kontraindikasi. R/
Membantu pengenceran sekret.
f.
Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik,
ekspektoran, bronkodilator.
R/ mukolitik untuk menurunkan
batuk, ekspektoran untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan
spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk menurunkan ketidaknyamanan.
3. Cemas
berhubungan dengan perdarahan yang diderita
Tujuan : Cemas klien
berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya.
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya.
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
INTERVENSI
a. Kaji
tingkat kecemasan klien.
R/ menentukan tindakan
selanjutnya.
b. Berikan
kenyamanan dan ketentraman pada klien.
R/ Memudahkan penerimaan klien
terhadap informasi yang diberikan
1) Temani
klien.
2) Perlihatkan
rasa empati ( datang dengan menyentuh klien
c. Berikan
penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang serta
gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti.
R/ Meningkatkan pemahaman
klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih
kooperatif.
d. Singkirkan
stimulasi yang berlebihan
R/ dengan menghilangkan
stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
1) Tempatkan
klien diruangan yang lebih tenang.
2) Batasi
kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan.
e. Observasi
tanda-tanda vital.
R/ Mengetahui perkembangan
klien secara dini.
f.
Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis.
R/ Obat dapat menurunkan
tingkat kecemasan klien.
4. Nyeri
akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun pengeringan mukosa
hidung.
Tujuan : nyeri berkurang atau
hilang
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
- Klien tidak menyeringai kesakitan.
- Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
- Klien tidak menyeringai kesakitan.
INTERVENSI
a. Kaji
tingkat nyeri klien.
R/ Mengetahui tingkat nyeri
klien dalam menentukan tindakan selanjutnya.
b. Jelaskan
sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
R/ Dengan sebab dan akibat
nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
c. Ajarkan
tehnik relaksasi dan distraksi.
R/ Klien mengetahui tehnik
distraksi dan relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
d. Observasi
tanda tanda vital dan keluhan klien.
R/ Mengetahui keadaan umum dan
perkembangan kondisi klien.
e. Kolaborasi
dngan tim medis.
R/ Menghilangkan /mengurangi
keluhan nyeri klien. Yaitu :
- Terapi konservatif : obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung.
- Terapi konservatif : obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal
atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan
gejala suatu kelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
B.
Saran
Sebagaimana kata orang tidak
ada gading yang tak retak oleh karenanya makalah ini yang berkenaan dengan “ Asuhan Keperawatan Epistaksis ”belum mendekati sempurna, maka dari itu diperlukan saran yang berarti dan
membangun untuk kesempurnaan pembuatan makalah
selanjutnya dan bermanfaat bagi para
pembaca pada umumnya serta penulis pada khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai
Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta
Doengoes,
Marilyn, et al, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing
Outcome Classification(NOC). Mosby. Philadelpia
MC.
Closky J. dan Bulaceck G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC).
Mosby. Philadelpia.